Monday, 18 February 2008

salam redaksi

ATA KIWAN,
Dan Kegelisahan Itu!
Perjalanan itu melelahkan. Berkendaraan melalui bukit, melewati jalan aspal yang retak berlubang, kami akhirnya menuruni bukit gersang itu menuju Balauring. Setelah beberapa ratus meter sepeda motor yang dipaksa ‘menikmati’ jalan yang tak layak itu terpaksa berhenti.
Kubangan air coklat kehitaman yang mencapai kedalaman 30 centimeter memaksa kami berhenti sejenak. Di sinilah cerita Ata Kiwan, majalah yang sekarang anda baca, berawal.
Jalan, hanyalah sebuah soal. Masih banyak keprihatinan yang tak cukup bila dituliskan semuanya. Kegelisahaan tersebut melahirkan sebuah tantangan untuk melakukan sesuatu. Setelah melewati beberapa kali diskusi di kantor komunitas, kami mencoba untuk menawarkan sebuah medium bagi masyarakat Lembata untuk saling berbagi kegelisahan atas persoalan-persoalan yang dialami. Pada saat yang sama medium tersebut aharus pula menjadi salah satu sumber pemecahan persoalan yang dihadapi tersebut. Inilah simpul awal Ata Kiwan.
Simpul tersebut ditarik hingga Jakarta. Di Ibukota negeri ini, kami masih terus mencoba untuk mengelobarasi gagasan awal tersebut. Kompleks Perumahan Jatibening Permai, Plaza Atrium Senen, Toko Buku Gramedia Matraman hingga kedai kopi Taman Ismail Marzuki (TIM), adalah tempat-tempat di mana gagasan ini diramu dengan intens, hingga majalah ini mencapai bentuk seperti yang berada di tangan Anda.
Ata Kiwan, berasal dua kata bahasa Lamaholot, Ata yang artinya orang dan Kiwan yang artinya kampung. Secara sederhana Ata Kiwan berarti Orang Kampung. Dalam konteks yang lebih luas, nama tersebut juga mewakili kelompok marjinal (rakyat) yang seringkali hanya menjadi objek dari pembangunan dan terkungkung dalam ketidakberdayaan akses informasi yang terkait erat dengan kepentingan mereka.
Ketika hendak dilahirkan di Jakarta, Ferdinand Lamak, salah satu dari antara kami yang berdiskusi, memanfaatkan jaringannya di Majalah Berita GATRA bagi kami untuk sekadar belajar tentang sebuah proses dan dinamika dalam sebuah media. Bersama Kang Dani Amdun dan Hidayat Gunadi Redakatur Pelaksana GATRA, kami menelusuri ruang-ruang redaksi salah satu majalah berita terkenal di ibukota tersebut. Kami mengikuti proses dalam ruang rapat redaksi Gatra, mengamati desain visual hingga menyisakan keheranan dalam ruang kerja awak Tekonologi Informasi Majalah GATRA. Di sinilah kami tersadar bahwa, publik Lembata belum saatnya dijamah dengan medium informasi yang dibangun diatas sebuah industri pers. Lembata bukan Jakarta, tidak juga Kupang. Rakyat Lembata berhak memperoleh informasi publik secara gratis, persis seperti yang tengah diperjuangkan dalam Rancangan Undang Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik oleh DPR RI.
Sebuah pengalaman dan pelajaran berharga kami petik di sana. Dan, dengan segenap keterbatasan kami dan proses belajar yang demikian singkat, majalah ini dapat hadir di hadapan Anda. Meski demikian, kami percaya bahwa Anda semua akan membantu kami dalam proses ini, karena melalui media ini kita semua sama-sama belajar. Pada bagian akhir, kami hendak mengingatkan, saatnya "Think Global, Act Local," atau Berpikir Global, Bertindak Lokal. Semuanya, demi Ata Kiwan.

Salam, Redaksi

No comments: