Monday 18 February 2008

tajuk rencana

Ketika Pembangunan
Melaju Sendiri di Jalan Sunyi
Oleh : Apolonius M. Sumarlin
Kebenaran hampir tidak pernah diucapkan. Sebagaimana halnya juga tidak bisa disembunyikan. (Baltasar Gracian)
Sejak berpisah dari Flores Timur delapan tahun yang lalu, Lembata telah cukup banyak berbenah. Derap pembangunan Lembata cukup terlihat di beberapa aspek, mulai dari pembangunan infrastruktur sampai pada pembangunan sumber daya manusia (SDM).
Pada sisi infrastruktur, pemerintah telah membangun sarana dan prasarana umum. Tentu, hal ini dimaksudkan untuk memberikan akses yang cukup besar bagi publik. Jalan raya pasar timur dan barat, sarana air bersih dan peningkatan pembangunan pertanian dengan fasilitas ‘warisan’ Kabupaten Flores Timur.
Pertanyaan kemudian adalah sejauh mana hasil pembangunan tersebut dirasakan oleh masyarakat. Fakta yang ditemui di lapangan, selama delapan tahun proses pembangunan tersebut hanya menghasilkan sebuah litani keluhan bagi rakyat Lembata. Jalan berlubang, yang dipenuhi debu kala kemarau dan kemudian berubah menjadi kubangan Lumpur ketika musim hujan tiba, telah jadi pemandangan biasa.
Tak hanya itu, pasar sebagai sentra kegiatan ekonomi masyarakat dipindahkan ke dua lokasi. Sebuah langkah yang hingga kini masih menyisakan perdebatan. Ruang dialog tidak pernah dibuka untuk menjembatani perbedaan tersebut. Masyarakat dipaksa menelan kebijakan pembangunan yang mentah perencanaannya sekaligus jauh dari keberpihakan terhadap kearifan lokal yang telah berlaku sekian lama.
Masyarakat kemudian memilih jalannya sendiri. Pusat kota yang sebelumnya menjadi lokasi pasar kembali dihampiri untuk sekadar dijadikan pasar dadakan. Lankah ini membuat para pedagang kemudian harus berhadapan dengan berhadapan dengan Polisi Pamong Praja yang cenderung bersikap seperti tukang pukul.
Pemerintah bukan tanpa rasionalisasi. Kekurangan dana, kontraktor nakal, masyarakat sulit diatur adalah beberapa alsan yang telah sering masuk dalam ruang dengar dan ruang baca masyarakat Lembata. Kondisi ini melahirkan sebuah pertanyaan kritis, dimana letak kesalahannya?
Jawaban atas pertanyaan ini bisa beragam. Namun dalam perspektif saya, ada kemungkinan jawaban. Pertama, kebijakan pembangunan kabupaten ini tidak mengacu pada kebutuhan dasar masyarakat. Proses perencanaan pembangunan yang terlalu elitis tanpa melibatkan masyarakat menjadi sebab utama terpeliharanya kondisi ini. Kemungkinan kedua adalah lemahnya sumber daya manusia pada lingkup pemerintah kabnupaten Lembata. Hal ini tentu saja berdampak pada kemampuan menerjemahkan visi dan misi pimpinan pemerintahan. Sementara itu pada titik yang lain, proses peningkatan kualitas sumber daya manusia (baca :aparatur pemerintah) nyaris berjalan di tempat.
Itulah realitas kita hari ini. Dan, pada titik ini, ungkapan Baltasar Garcian menjadi benar. Ya, kebenaran harus dapat diungkapkan, jangan disembunyikan! Hanya dengan kejujuran, kita bisa menjawab kebutuhan masyarakat Lembata.

No comments: