Monday 18 February 2008

fokus


Waikomo, Lumbung Yang Kini Merana


Persawahan Waikomo sejak lama jadi lumbung pemasok kebutuhan sayuran untuk warga Lewoleba dan sekitarnya. Kini pencemaran air dan kondisi saluran irigasi jadi momok para petani.


Berbicara tentang Lembata, kesan pertama yang terbayang oleh setiap orang Lembata adalah kemajuan. Sebuah kesan yang lahir dari harapan ketika Lembata menyatakan sikapnya untuk ‘putus hubungan’ dengan induk semangnya Flores Timur, jadi kabupaten sendiri. Kesan yang menggairahkan itu pupus – gugur saja ketika sejumlah fakta pembangunan di kabupaten yang telah berusia delapan tahun itu terpampang ‘minor’. Bayangan kemajuan yang semula menari indah itu, seakan mengajak setiap warga Lembata untuk harus mengeluh, mengumpat bahkan harus berteriak dalam sebuah ratapan panjang tentang Lembata sebagai kampung yang menyengsarakan.
Mengayunkan langkah menuju Waikomo di Kelurahan Lewoleba Barat pandangan kita akan membentur areal persawahan luas kebanggaan orang Lembata. Persawahan Waikomo yang terkenal itu menyajikan panorama hijau menyejukkan. Panorama itu seakan hendak memberikan kesan bahwa pembangunan pertanian di wilayah itu nyaris tanpa masalah. Tetapi ada sejumlah masalah yang ternyata ‘pulas tertidur’ memeluk hijaunya padi, kacang dan sayur – sayuran di persawahan tersebut tanpa sentuhan berarti dari kebijakan pemerintah daerah yang katanya bertekad meningkatkan kesejahteraan rakyat Lembata. Pembicaraan dengan beberapa petani sawah membuktikan bahwa pembangunan sektor pertanian masih jauh dari harapan.
Johanes Hani Ledjab keturunan Atadei yang menetap di Waikomo, menuturkan beberapa masalah yang harus diha-dapinya dalam mengolah sawahnya yang mempengaruhi produktifitas hasil pertaniannya. John sapaan akrab pria berusia 35 tahun yang belum menikah itu mengatakan bahwa ada banyak hal yang mempengaruhi menurunnya produktifitas pertanian mereka. Beberapa hal di antaranya adalah rendahnya kualitas air, menurunnya kesuburan tanah, serta terbatasnya lahan pertanian yang dapat dijadikan sebagai lahan persawahan. John yang juga bertugas sebagai petugas hulu air itu mengeluhkan tentang kualitas saluran air yang sudah mulai berlobang dari bendungan Waikomo hingga daerah persawahan.
Selain saluran air, dia juga mengatakan bahwa ternyata air yang digunakan untuk mengairi persawahan sudah tercemar limbah cucian kendaraan dan pakaian yang sering dilakukan warga di sepanjang saluran air tersebut.
Sedang, Regina Nogo Unaraja, sekre-taris Kelompok Tani "Pondok Tani" bertutur, air yang tercemar itu mungkin merupakan salah satu yang turut berkontribusi menu-runkan produktifitas tanaman pertanian kami selain mungkin juga ada beberapa penyebab lain.
Yordanus Yunus Tolok salah satu anggota kelompok tani tersebut menam-bahkan, selain air yang tercemar, hal lain yang turut berpengaruh menurun-kan produktifitas tanaman pangan adalah menurunnya kesuburan tanah. Yunus menegaskan bahwa lahan persawahan yang selama ini digarap telah berusia puluhan tahun. Setiap tahun humus tanah terisap habis oleh tanaman – tanaman yang ada. Tidak mengherankan kalau semakin hari dari tahun ke tahun kesuburan tanah di persawahan ini mengalami penurunan drastic dan menjadi kendala utama yang meresahkan. Pemberian pupuk sedikit memberikan solusi atas keresahan itu, tetapi mungkin membutuhkan lahan tambahan. Lebih lanjut, pria bujang itu mengatakan bahwa kehadiran pertam-bangan galian C di sekitar wilayah persawahan merupakan sebuah ancaman bagi keberlangsungan pertanian di wilayah persawahan ini.
Sejumlah persoalan keluhan warga di atas, sejatinya pernah ‘ditengok’ oleh aparatur yang berwewenang. Namun, hingga saat ini kondisi yang terjadi, masih bergeming, tak berubah. Entah, sampai kapan, hamparan persawahan Waikomo selamanya akan terus menjadi kamuflase wajah kampung Lembata. Hijau, namun menyimpan sejuta persoalan yang meresahkan. [APOLONIUS SUMARLIN]

No comments: