Monday, 18 February 2008

kebijakan publik

Pasar Lewoleba:
Persoalan yang Tak Kunjung Selesai

Pasar adalah tempat bertemunya pembeli dan penjual. Namun, di Lewoleba dua buah pasarnya berada pada lokasi yang tidak strategis. Pedagang pun memilih pasar dadakan supaya karena di sana ada pembelinya.

Mama Maria, memperhtiakan dengan sedih sayuran yang telah layu di hadapannya. Matahari telah meninggalkan siang. Sore telah kian dekat, namun sayuran yang didagankannya sejak pagi di Pasar Pada tersebut belum laku terjual. Ini bukan pengalaman pertama perempuan paruh baya itu.
Ketika melangkah lebih jauh menyusuri lorong Pasar Pada, dengan mudah kita dapat menemui para pedagang dengan pengalaman yang nyaris sama dengan Mama Maria. "Sejak dipindah ke sini, dagangan kami sepi," ujar Maria sambil tersenyum pahit. Meski berat, Maria tidak punya pilihan selain berdagang di Pasar tersebut.
Pengalaman Mama Vero Weda lain lagi. Ditemui dalam sebuah kesempatan Mama Vero bercerita tentang sulitnya berdagang di Pasar Pada yang sepi pengunjung tersebut. "Pasar itu terlalu jauh, kami harus naik ojek. Kadang-kadang kami rugi kalau harus berdagang di sana," ujarnya.
Mama Vero kemudian memilih berjualan di tepi jalan tak jauh dari rumahnya. Dengan sebuah bale-bale kecil tempat ia meletakan sirih, pinang dan beberapa jualan kecil lainnya Mama Vero berjualan di tepi jalan. "Hasilnya lebih dari cukup jika dibandingkan dengan berjualan di Pasar Pada," ujarnya dengan semangat.
Masih dengan semangat Mama Vero menambahkan, penghasilan berjualan di tengah kota jangan dibandingkan dengan hasil penjualan jika berdagang di Pasar Lamahora. Wanita tua yang juga aktif di salah satu partai politik tersebut mengaku tidak dapat mengerti pertimbangan membuat pasar di Lamahora. "Siapa yang mau berjualan di sana. Sepi sekali, tidak ada pedagang dan penjual," ujarnya lagi.
Bukan rahasia lagi bahwa Pasar Lamahora nyaris tidak ada aktifitas selama ini. Jaraknya yang cukup jauh membuat pedagang berpikir dua kali untuk berjualan di sana. "Dulu kami sempat berjualan di sana, tapi siapa yang mau rugi terus," ujar wanita yang gemar menguyah sirih ini.
Kira-kira 200-an meter ke arah selatan dari tempat Mama Vero berjualan, sekitar belasan pedagang mengambil langkah yang sama, berjualan di tepi jalan. Jalanan depan Kantor Kesbanglinmas Kabupaten Lembata itu tak pernah sepi. Dari pagi hingga petang lokasi tersebut menjadi pasar kaget.
Aksesnya yang mudah membuat pasar kaget tersebut kian ramai dari hari ke hari. Tentu, hal tersebut membuat jalan di sekitar padat dan sesekali macet. Mengganggu memang. Yance, salah seorang sopir angkutan di Lewoleba mengaku cukup terganggu ketika melintasi jalan tersebut. "Macet dan harus hati-hati karena banyak orang. Tapi banyak penumpang yang ingin ke pasar kaget. Rejeki bagi kami," ujarnya sambil tersenyum.
Tak hanya Yance yang senang, tukang ojek pun kebagian rejeki. Meskipun mereka harus sedikit berebutan dengan sesama tukang ojek namun tetap saja mereka berhasil mendapatkan penumpang. Kondisi ini, lagi-lagi membuat jalanan di sekitar lokasi pasar menjadi ramai. Lalu lintas terhambat dan tentu saja hal tersebut sangat mengganggu.
Kondisi tersebut memaksa pemerintah untuk mengambil langah pengusiran terhadap semua pedagang yang berdagang di pasar dadakan di tengah Kota Lewoleba. Langkah mungkin tepat dalam perspektif pemerintah. Tidak salah memang. Tapi juga harus diingat bahwa para pedagang yang berjualan di lokasi tersebut pun tidak dapat disalahkan.
Para pedagang hanya berusaha untuk menemukan lokasi yang tepat untuk bertemu dengan calon pembeli dagangan mereka, seperti yang juga diakui oleh Mama Kewa seorang pedagang di lokasi pasar kaget. "Jam 11 jualan kami sudah habis terbeli. Kalau di Pada, sampai sore belum tentu terbeli," ujarnya serius.
Dasar hukum pertama yang digunakan oleh pemerintah pun seperti dipaksakan yakni dengan menggunakan UU No.34 tahun 2004 tentang Jalan dan Jalan Tol. UU tidak secara spesifik mengatur tentang perdagangan di tepi jalan. Justru dasar hukum kedua, Perda 12/2003 terasa lebih tepat. Hal ini menimbulkan kesan dasar hukum pertama dipakai untuk menakut-nakuti pedagang yang akan berpikir bahwa urusan berdagang di pinggir jalan juga dilarang undang-undang.
Langkah pengusiran tersebut berbuntut panjang Vero Weda sampai harus dipukuli oleh petugas Polisi Pamong Praja yang menjadi eksekutor pengusiran pedagang. Sebuah hal yang sangat disayangkan. Pada masa seperti ini Polisi Pamong Praja, yang merupakan perpangangan tangan pemerintah, berlaku bagai monster bagi warganya yang berjuang untuk hidup di tengah himpitan ekonomi.
Tentu sangat sulit mencari siapa yang salah dalam urusan ini. Persoalan ini telah menjadi seperti benang kusut. Namun, terlepas dari hal tersebut, ada persoalan substansial yang membuat masalah pasar seperti menjadi benang kusut. Hal ini tentu saja tidak terjadi jika pemerintah mau melibatkan masyarakat dalam proses penentuan kebijakan publik.
Sebuah kebijakan publik bagaimanapun harus menjadi jawaban atas persoalan masyarakat. "Pemindahan pasar ke Pada dan Lamahora tidak membuat kami mendapatkan pembeli yang cukup," ujar Mama Kewa yang tinggal di Namawekak itu. Menyedihkan memang tapi itulah kenyataannya.
Pada titik ini, pemerintah dan masyarakat terutama pedangang di pasar Pada dan Lamahora perlu untuk duduk bersama, sehingga dapat dirumuskan kebijakan yang saling menguntungkan. "Pemerintah mengusir kami dari pasar ini, tidak apa-apa. Tapi sekali-sekali mereka perlu bertanya, berapa uang yang kami keluarkan untuk ke Pasar Pada dan Lamahora, lalu berapa yang kami dapatkan dari sana," ujar Mama Vero dengan sedih. Andaikata pemerintah mau untuk sedikit saja mendengarkan mereka. DONI KARES ASTRIANUS DAN APOLONIUS SUMARLIN

2 comments:

Lebeocdjohan said...

Kebijakan Publik, hem... sepertinya Lembata tidak ada perubahan. Malah di zaman serba teknologi ini, Lembata kembali ke alam mitis magis. Kapan konsep orang Lembata mau "go international" kalo begini terus.

Blasius Dogel Lejap said...

om sumarlin !!, gantung saja pejabat lembata yang tidak berpihak pada masyarakat kecil. Sudah saatnya rakyat manghakimi langsung